Custom Search

Thursday, February 11, 2010


The Bunaken National Marine Park of Manado Entrance Fee

Wear Your 2006 Bunaken Entrance Tag with Pride!
The North Sulawesi Provincial Government is proud to announce the Bunaken National Park Entrance Fee System for 2006. In accordance with Provincial Law Number 9/2002, the 2006 entrance fees for foreign visitors are Rp 50,000 per daily ticket (approximately US$6) or Rp 150,000 (approximately US$17) for a waterproof plastic entrance tag valid for the full calendar year. Tags (or tickets) must be carried at all times the guest is within park boundaries and can easily be affixed to guests’ diving or snorkeling gear or on backpacks. The entrance fee system has been adapted from the well-known Bonaire Marine Park system and was successful in raising over $420,000 for conservation programs in Bunaken during the period from 2001- 2004.

Entrance tags and tickets can be purchased through marine tourism operators based in Manado and in the Bunaken National Park, or can be purchased from one of three ticket counters in Bunaken and Liang villages on Bunaken Island and on Siladen Island. Enforcement of the entrance fee system is conducted via spot checks by park rangers on land and at sea.

Each year, the Bunaken tag design changes, with the design and production of the 2006 tags sponsored by WWF Indonesia and Silk Air. The 2006 entrance tags were designed by the winner of the 2006 Bunaken Tag Design Contest – Fried Kruger of Holland.

All proceeds from sales of the entrance tags and tickets are managed by the Bunaken National Park Management Advisory Board (BNPMAB), a multistakeholder board established by Governor’s decree No. 233/2000 and consisting of dive operators, environmental organizations, academia, pertinent government officials and villagers from within the park. The BNPMAB will utilize these funds to finance a number of high priority conservation programs in the park, including patrols and enforcement to abolish destructive fishing practices such as blast and cyanide fishing, village improvement programs within the park, collection and disposal of plastic and other wastes entering the park’s waters, marine conservation education of village children and adults, and reef and mangrove rehabilitation.

We greatly appreciate your support and cooperation with this entrance fee system. Conservation of Bunaken’s spectacular marine habitats requires funding, and your entrance fee is a valuable contribution to saving Bunaken’s reefs. For more information on Bunaken and North Sulawesi in general (terrestrial and marine ecotourism),
please visit the websites www.north-sulawesi.com and www.north-sulawesi.org/ http://www.bunakenchacha.com

Tuesday, May 5, 2009



KISAH LUBANG JEPANG DI BUKITTINGGI

Terowongan sepanjang 4 km berliku di perut Kota Wisata Bukittinggi – peninggalan zaman penjajahan Jepang, terbuka untuk kaum pelancong. Petunjuk tentang apa yang ada di dalamnya, sejauh ini baru sebatas catatan di gerbang gua.

ATTENTION…! Untuk kepuasan dan kenyamanan anda, para pengunjung Taman Panorama dan Lobang Jepang, kami menyediakan jasa pemandu yang berlisensi. Begitulah gaya pengumuman di kertas lusuh yang ditempel di dinding tebing, beberapa langkah dari gerbang Lobang Jepang di Ngarai Bukittinggi, Sumatera Barat.

Lalu di bawahnya, ada selembar kertas lagi berisi tulisan: Pengunjung yang terhormat. Nikmatilah keunikan serta keindahan Lobang Jepang ini !!! Mohon jangan melakukan aktivitas yang melanggar aturan serta perbuatan asusila !!! Semua aktivitas and termonitor pada kamera kami…Terimakasih atas perhatiannyaa, ttd…Penanggung Jawab. Di sbelahnya – masih pada dinding yang sama, ada panil denah terowongan di perut Kota Bukittinggi ini. Di situ tertulis petunjuk apa saja yang ada di dalam gua tersebut. Yaitu, ada mini teater, lorong maket geologi dan tatakota, lorong patung akrilik, lorong museum geologi, lorong pameran lukisan dan foto-foto, kafe, lorong duduk & istirahat, mushala wanita, mushala pria, toilet wanita dan toilet pria.

Kemudian, begitu lewat mulut gua segera kita menuruni perut bumi. Seluruhnya 132 undakan atau anak tangga, sampailah kita di dasar gua. Atau pada kedalaman 40 meter dari mermukaan tanah. Panjang terowongan total 4 km. Dengan satu pintu masuk dari arah Panorama, jika jalan langsung kea rah pintu di ujungya hanya sekitar sekilo. Ada tiga pintu keluar di bagian darat Bukit Apit. Tapi Cuma dua yang berfungsi. Satu persis di bawah tebing gardu Panorama, telanjur ditutupi sampah.

Ada penerangan listrik. Lantai gua dilapisi semen. Juga dinding serta langit-langitnya. Menurut Azwarman – Kepala Seksi Sarana Prasarana Kantor Pariwisata Bukittinggi, pemolesan dinding serta langit-langit gua ini dilakukan tahun 1974. Ketika terjadi gempa hebat beberapa waktu lampau, ada bagian terowongan yang retak. Tapi hanya lapisan konstruksi tanah di bawah Kota Bukittinggi ini. Sebab bagian lain yang merupakan tebing kota ini ada yang runtuh. Longsor parah terjadi di tebing seberang, bagian dari kampong Kotagadang. Pengumuman pada panil di gerbang gua, tinggal sebatas cacatan di atas kertas, rupanya. Sepanjang lorong yang dilewati, masih berupa lubang asli buatan Jepang. Ada ruang amunisi, yang diberi pintu terali besi. Di bagian kiri kanan dinding menjelang mulut gua untuk keluar, ada mushala masing-masing untuk pria dan wanita. Juga toilet sendiri-sendiri, yang kini masih terkunci. Belum ada air masuk ke sini. “Bak airnya sudah lama dibikin diatas,” kata Arwarman. “Tapi sampai sekarang belum juga disambungkan pipa ke sini”.

Menarik dicatat adalah lokasi yang dituliskan sebagai Ruang Romusha alias pekerja paksa (lihat juga : Tak Ada Kerja Paksa). Tampaknya untuk membuat “Lobang Jepang” sebagai objek wisata, perlu dilengkapi dengan riset yang akurat datanya. Sehingga penyuguhan aneka materi tontonan lain – sebagaimana tercantum pada panil di gerbang, memang memperkaya khazanah pengetahuan public secara sahih.

Sedikit tambahan, para petinggi Kota Bukittinggi mungkin pernah ke Mesir. Tentu sempat menyaksiksan piramida peninggalan zaman Fir’aun tempo dulu. Ini sudah lama dijadikan tontonan khas di waktu malam. Puluhan lampu sorot bermain di padang pasir dihiasi suara, terkenal sebagai sonne et lumiere alias suara dan cahaya.

Juga di Thailand. Ingat, ada film yang dibintangi Alec Guines bernama bridge on the River kwai. Nah, jempabatan ini menghubungkan bagian daerah Thailand dengan Burma. Drama sekitar jembatan itu, kini merupakan bahan tontonan malam – menggunkaan pola suara dan cahaya pula. Konsep serupa tampaknya bisa diterapkan untuk atraksi khas Lubang Jepang di Bukittinggi.

TAK ADA KERJA PAKSA

ADALAH Hirotada Honjyo, lahir 1 januari 1908, di kota kecil Iizuka, Provinsi Fukuoka, Kepulauan Kyushu, Jepang Selatan. Tamatan Fakultas Hukum, Hosei University, Tokyo, penggemar olahrga rugby ini, bekerja diperusahaan tambang batu bara, Asou Koggyo. Ia beroleh pengetahuan dasar tentang pertambangan dan terowongan. Berikut ini penuturannya yang ditulis tanggal 17 april 1997, dan ia meninggal tahun 2001.

Honjyo-san harus membuat “lubang perlindungan” di Ngarai Bukittinggi, atas instruksi Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Bala Tentara Jepang, Letjen Moritake Tanabe. Waktu itu, ia berpangkat Kapten Angkatan Darat, perwira staf keuangan, sebagai jurubayar, untuk merencanakan, membuat dan mengawasi pelaksanaan sebuah “lubang perlindungan”.

Semua berkas mengenai rencana, gambar, spesifikasi dan anggarannya, sudah tidak ada lagi. Semua dibakar saat balatentara jepang kalah, tanggal 15 Agustus 1945, sesuai perintah Panglima Letjen Moritake Tanabe. “Walaupun telah lewat 50 tahun lebih, saya masih ingat menggambarkan dan menyatakan perencanaan pelaksanaan lubang perlindungan tersebut,” kata Honjyo-san.

Konstruksinya mulai dikerjakan bulan Maret 1944, dan selesai pada awal Juni 1944. “Hal ini tidak bisa saya lupakan, karena sampai sekarang ada album kenang-kenangan yang saya simpan,” katanya. Pembuatan terowongan dikerjakan dibawah pimpinan tiga ahli tambang batubara, dikirim dari perusahaan Hokkaido – Tanko Kisen Co. Perusahaan tambang batu bara terkenal di Hokkido ini selama pendudukan balatentara Jepang, juga mengerjakan tambang batubara Ombilin.

Ketiga ahli terowongan itu adalah (1) Ir. Toshihiko Kubota, sebagai ketua, (2) ir. Ichizo Kudo (3) Ir. Uhei Koasa. Mereka sudah meninggal. Selain dari orang-orang Jepang, ada juga beberapa orang Indonesia yang bekerja di tambang baubara Ombilin diperbantukan mengerjakan “lubang perlindungan” ini.

Konstruksi lubang perlindungan tersebut dijalankan menurut pembagian peranan keahlian, dengan contoh “sakiyama” membuat tambang batubara yang digali, kemudian diteruskan dengan “atoyama” atau mengambil galian “sakiyama” tersebut. Jadi “atoyama” dikerjakan sesudah pelaksanaan “sakiyama.” Urusan “sakiyama” dikerjakan oleh ahli-ahli bangsa Jepang, kemudian secara “atoyama” dikerjakan orang-orang Indonesia dan buruh-buruh harian.

Mereka yang menggali dan membuat dinding kayu untuk menahan reruntuhan. Lubang dibuat sempit, dapat dilalui seorang dengan membawa alat-alat pengebor, sehingga tidak dapat dikerjakan oleh banyak orang. Tiap hari rata-rata memerlukan tenaga kerja 50 atau 100 orang. Para pekerja ini didatangkan dan disediakan oleh Kantor Kotapraja Bukittinggi, yang terdaftar dan dibayar sebagai buruh harian. Mereka membawa bekal makanan sendiri untuk makan siang. “Saya adalah seorang perwira staf keuangan, sebagai ahli jurubayar dan selama bertugas tidak menggunakan kekuasaan tentara dan fasilitas lainnya, “kata Hanjyo-san. “Kepada saya diperbantukan seorang sersan dari Markas Besar Panglima dan beberapa lori untuk keperluan angkutan kerja”.

Selama tiga bulan bertugas, katanya, tidak ada terjadi insiden atau kecelakaan. Dan selama bertugas tidak menggunakan senjata, baik senjata berupa pedang samurai maupun senjata api lainnya.

“Lubang perlindungan Jepang” itu tidak merupakan benteng pertahanan. Tapi hanyalah lubang untuk melindungi diri. Supaya terhindar dari serangan bahaya udara. Instruksi Panglima Devisi ke-25 Angkatan Darat Balatentara Jepang itu penyebutkan lagi: (1) membuat sebuah lubang perlindungan yang bisa menahan getaran letusan bom sekuat 500kg. (2) membuat lubang perlindungan yang dilengkapi dengan ruangan-ruangan untuk keperluan Markas Besar, ruang kantor dan fasilitas-fasilitas lainnya untuk keperluan Divisi ke-25 Angkatan Darat.

Konstruksi lubang perlindungan tersbut tidak rahasia dan tidak ada yang perlu dijaga. Untuk bisa menahan getaran letusan bom di atas 500kg, perlu penggalian sedalam 40-m dari permukaan bumi atau 20-m dari ujung penggalian jurang tebing. Untuk menguatkan dan kokohnya dinding lubang, dibuat bentuk “torii-gumi” – menyerupai pintu depan lambing agama Shinto. Yaitu bagian bawah lebih besar daripada bagian atas.

Lubang perlindungan ini terbagi dua. Satu blok khusus untuk keperluan Markas Besar Divisi ke-25 Angkatan Darat. Satu blok lagi yang lebih aman terhindar dari serangan bahaya udara, dapat melindungi dan menyembunyikan diri. Tiap ruangan dihubungkan dengan jalan udara dari ujung jurang tebing yang agak besar sampai ke ujung yang lebih leluasa berlalu-lintas di dalamnya.

Kapasitaas lubang tersebut direncanakan untuk 500 orang. Ditambah dengan pegawai kantor bisa mencapai 1000 orang dalam keadaan darurat. Di dalam lubang perlindungan tersebut tidak ada dapur. Sebab kalau memasak, akan mengurangi zat asam, mengeluarkan asap yang mengusik oksigen. Dengan kata lain, rancangan membuat kafe di dalamnya nanti perlu dipertimbangkan masak-masak.



LAMBAH PALUPUH


Sejuk dan damai di Lambah Palupuh. Oleh-oleh dari perjalanan melewati Kenagarian Pagadih, Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. By; Makhfudz

Saturday, August 23, 2008



Pangandaran


Tourism object, which is the most wanted beach in West Java in located at Pananjung village with + 92 KMS from Ciamis to south. Owning many specialties such: sunrise and sunset at the same spot are visible, sloping beach with clear water and the gap between tide and ebb relative long so enable for peoples to swimming safely shore with nature preserve, white sand, beach tourism rescue team, etcetera are available.

TANGKUBAN PRAHU


Located in West Java at , 30 km from Bandung and 9 km from Lembang the Tangkuban Prahu volcano is still active but very quiet and no major eruption took place recently.


" Prahu" means boat and "tangkuban" means upside down.


It is supposed that few thousands years ago (between 2000 and 6000 years) multiple eruptions took place in Tangkuban Perahu.


Lava, mud, ash and rock generated by the volcano blocked the Padalarang valley. first Bandung basin began to fill and became a lake of 700 km2. Then the newly fertile Bandung plain did not appear immediately as it took time to dry through the new course of the Citarum river.


About 150 yeras ago the lake was still quite large, and wild animals including benteng, rhinos, and tigers were abundant and even now the southern part of the plain is prone to flooding.

The legend about the volcano tells the story of a prince who loves a queen who didn't return his feelings. But after a while she agreed to marry him on the following condition.

The prince would have to build a dam and a huge boat in one night. The prince worked very hard, and as the night wore on, it looked like he would actually accomplish his task! Seeing this, the queen convinced the gods to make the sun rise early. Hearing the cocks crow as the sun rose, the angry prince turned his almost-completed boat over. Tangkuban Prahu is the boat.


02 tangkuban prahu (02)

02 tangkuban prahu (03)



Pasupati bridge flyover in Bandung.

'Pasupati' stands for (between) "Pasteur" and "Surapati", i.e. names of two streets connected by this bridge

Saturday, July 19, 2008


PLACES OF INTEREST LOMBOK ISLAND


Kute Beach
On the ruggedly beautiful south coast, lies the impressive white sandy expanse of Kuta beach. The beach is perpect place to wonder, at low tide,
among a plethora of shell, coral and other marine life. Accommodation within the mind range bracket to luxuarious is found here, many of witch
line the main beach.

Lembar/ Gerung
Lembar, Lombok' Main Port, links the island to neighbouring Bali. This port also used as a departure point for those wishing to visit
the smaller islet of Gili Nanggu, Gili Sudak and Gili Tangkong.

Gili Nanggu
On the southeast coast of Lombok. Gili Nanggu is a beautiful islet sandwhices between Gili Sudak and Gili Tangkong. Is a great place to canoe and sail
and can be reached by boat from Lembartaking about twenty minutes from Tawun.

Senggigi
Situated ten kilometers north of Mataram, Senggigi is Lomboks' oldest and most famous Resort area. A Perpect place to relax, Sengigi boats a series
of while sandy beaches and a safe swimming area, which also provides some good wayes ffor surfers as well being home to a colourful reef which
provides shelter to a variety old marine file and exquisitely shaped coral a perfect place to snorkel. Sengigi caters for all wallets.
Expansive restaurant and small cafe, line the main street accommodation ranging from 5-start luxury hotel small, comfortable bungalows is available.

Gili Poh
This small island is home to a traditional Sasak Village and is and island on which traditional fishing technique are still employed.